Powered By google

Friday, November 18, 2011

MUQADDIMAH

Perhimpunan ini bertujuan untuk menjalin ukhuwah antar sesama mahasiswa asal Sulawesi Selatan yang sedang study di Universiti Utara Malaysia. Disamping sebagai media untuk saling tukar informasi juga diharapkan perhimpunan ini dapat menjadi wadah atau sarana untuk saling membantu dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh Mahasiswa Sulawesi Selatan di Universiti Utara Malaysia khususnya yang berkaitan dengan study yang sedang dijalaninya. Misalnnya permasalahan mengenai methodology penulisan tentunya dengan adanya pehimpunan ini dapat saling membantu memberikan solusi atau diantara anggota perhimpunan ada yang dapat memberikan pendampingan sehingga kesulitan yang dihadapi oleh seluruh anggota perhimpunan dapat terpecahkan.


Mengenai konsep Sipakatau, Sipakalebbi, dan Sipakainge. Merupakan suatu konsep yang dianut dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya dalam masyarakat Bugis-Makassar. Berdasar dari konsep tersebut dan nilai-nilai terkandung di dalamnya dijadikan dasar pijakan terbentuknya perhimpunan Mahasiswa asal Sulawesi Selatan Univesiti Utara Malaysia (UUM). Kerana nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Sipakatau, Sipakalebbi, dan Sipakainge tersebut sesuai dengan ajaran Islam, dimana semua konsep-konsep kehidupan masyarakat Bugis-Makassar berasaskan dari ajaran Islam.


Kembali kepada konsep Sipakatau, Sipakalebbi, dan Sipakainge merupakan suatu konsep dasar kehidupan masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup rukun dan damai serta memelihara sekaligus memperkokoh tali persaudaraan sehingga konsep tersebut sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar terlebih jika berada dinegeri orang konsep tersebut sangat mereka rasakan. 

Berkaitan dengan uraian diatas, Budayawan Sulawesi Selatan Prof. Dr. Abu Hamid, MA (2003) menjelaskan bahawa bahasa dan budaya Bugis-Makassar meliputi pandangan hidup, etika tutur kata, perilaku seharian dalam interaksi sosial yang berpedoman pada konsep Bugis-Makassar. Konsep-konsep tersebut iaitu; (1). Konsep Sipakainge (saling nasihat menasihati) (2). Sipakatau (saling menghargai), (3) Pau-pau Taoriolo (mesej-mesej Orang dulu) dan (4). Pau-pau Tu-panrita (mesej-mesej Ulama). 

Selanjutnya Abu Hamid (2003), mencotohkan konsep Pau-pau Toriolo / Pappasang tauriolo (mesej-mesej orang dulu) iaitu: "nikny sulp apn tauw aiymitu niy sirin niy pecn niy pGlin n niypGdkn nikanaya sulapak appakna tau, iamintu niak sirikna, niak paccena . niak panngalikna, na niak panngadakkanna". Maknanya: Yang disebut kesegiempatan manusia ialah manusia yang mempunyai harga diri, mempunyai rasa kesetiakawanan, menghargai orang lain, dan mempunyai sifat sopan santun ". Konsep ini menjelaskan bahawa orang tua dahulu selalu memberikan nasihat kepada anaknya untuk selalu menghargai orang lain. 


Berkaitan dengan konsep tersebut diatas, Rusdi Room (2011) menjelaskan dalam tulisan thesis beliau bahawa konsep Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge sangat berkaitan nilai-nilai kesopanan berbahasa dan berbudaya juga dijadikan asas dalam kehidupan suku Bugis-Makassar. Bagi masyarakat Bugis-Makassar nilai-nilai kesopanan menjadi ukuran dalam kehidupan seseorang sehingga mereka sangat memperhatikan dan menjaga etika sopan santun dalam bertutur, kerana jika seseorang menggunakan tuturan dengan sopan santun maka orang tersebut akan dihargai, dihormati.

Akan tetapi, jika seseorang tidak mempunyai sopan santun dalam bertutur maka orang tersebut tidak dihargai, tidak dihormati. Hal ini turut ditopang dari pendapat Darwis (2009) pelanggaran suatu aturan dalam bertutur disadari atau tidak (ceroboh/lalai) dianggap tidak beradat atau kekurang tahuan tentang tata krama. Dan dianggap sebagai penghinaan atau sikap yang tidak memiliki kesopanan.

Sipakatau, adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai manusia. seorang manusia Bugis-Makassar hendaklah memperlakukan siapapun sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain diluar perlakuan yang pantas bagi manusia. konsep ini memandang manusia dengan segala penghargaannya. siapapun dia dengan kondisi sosial apapun dia, dengan kondisi fisik apapun dia, dia pantas diperlakukan selayaknya manusia. seorang manusia Bugis-Makassar memperlakukan manusia lainnya dengan segala hak-hak yang melekat pada setiap manusia. ia memandang manusia lain sebagai mana ia memandang dirinya sebagai sama-sama manusia.


Sipakatau bermaknakan masyarakat Bugis-Makassar senantiasa menghargai sesamanya, menghargai yang dimaksud disini sangat luas. Rusdi Room (2011) lebih lanjut memberikan contoh tentang nilai sipakatau seperti dalam penggunaan iye dan Tabe bermaksudkan seseorang yang menjiwai kata sapaan Iye dan Tabe maka tindak tuturnya akan senantiasa terpelihara atau terukur dari nilai-nilai kepatutan, dia tidak sembarang bertutur, jika bertutur senantiasa santun dalam menggunakan pilihan kata yang baik, walaupun mungkin dalam keadaan marah sekalipun tapi tuturannya tetap terkontrol dengan pilihan kata yang santun. Misalnya ketika dia menjawab maka spontan yang pertama yang diucapkan adalah kata “Iye” bukan Iya atau iyo atau ‘A’A. dan jawaban Iye hanya dapat dilapadzkan jika seseorang sudah terbiasa dalam kehidupan kehariannya. Walapun pembiasaan penggunaan ini banyak diajarkan pada keluarga-kerajaan (anakkarung), mengingat kata sapaan “Iye” dalam kehidupan kerajaan merupakan norma-norma yang tidak tertulis dalam keluarga kerjaan yang tidak boleh dilanggar. 


Turut menguri Article yang Posts oleh. Admin (2011) Sipakalebbi, adalah konsep yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya. karena itu manusia bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan seadanya, tatpi ia cenderung memandang manusia lain dengan segala kelebihannya. setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. untuk setiap kelebihan manusia lainnya itulah ia akan diperlakukan. saling memuji akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, hingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut akan senang dan bersemangat. sifat sipakalebbi akan membuat siapapun akan menikmati hidup sebagai suatu keindahan.


Sipakainge. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. adakalanya kita terpeleset. dalam kondisi inilah manusia Bugis-Makassar akan saling mengingatkan. akan saling memberi peringatan. siapapaun yang berbuat salah akan diperingatkan perbuatannya yang salah tersebut. sehingga siapapun akan selalu diingatkan untuk berjalan di jalan yang lurus. tidak orang yang bebas dari peraturan. ade telah dibuat dan disepakati. ade yang mengatur tata hubungan dan peran serta fungsi masing-masing komponen masyarakat. siapapun yang melanggar akan mendapatkan sangsi. bahkan seorang rajapun jika perbuatannya tidak melindungi dan menolong rakyatnya tidaklah pantas ia menjabat sebagai raja. budaya kritik bukanlah budaya tabu bagi manusia bugis. bahkan ia menjadi kebutuhan. budaya sipakainge menjamin siapapun yang mempunyai kuasa akan selalu diingatkan akan kekuasaannya.

Sipakainge juga bermakna bahawa dalam kehidupan Bugis-Makassar berarti saling menasihati, saling mengingatkan, sehingga jika ada Saudara atau Sahabat yang melakukan kesalahan atau kekhilafan apakah itu disengaja atau tidak disengaja maka kewajiban salah satu diantara mereka harus mengingatkan atau memberikan nasihati. Konsep sipakainge ini sesuai dengan yang terkandung dalam Al-Our’an pada Surah Wal-Asr. 


Berkaitan dengan konsep sipakainge tersebut konsep Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:“tejjali tettappere , banna mase-mase”. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.


Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:

  1. Iya padecengi assiajingeng.
  2. Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie.
  3. Sipakario-rio.
  4. Tessicirinnaiannge ri sitinajae.
  5. Sipakainge’ ri gau’ patujue.
  6. Siaddappengeng pulanae. (Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu: Sependeritaan dan kasih-mengasihi; Gembira menggembirakan; Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar; Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar; Selalu memaafkan.
Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut:

Eppai rupanna padecengi asseajingeng:

- Sialurusennge’ siamaseng masseajing.

- Siadampengeng pulanae masseajing.

- Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae.

- Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng.

Ketiga konsep hidup tersebut diatas (Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge) sangat berhubungan konsep hidup lainnya seperti yang dikemukakan oleh Mashadi Said (2008) bahawa konsep Ati Mapaccing (Hati yang Baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. 

Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Dalam Lontara’ disebutkan:

Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)

Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontara’ dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara’ menyebutkan:

Atutuiwi anngolona atimmu; aja’ muammanasaianngi ri ja’e padammu rupa tau nasaba’ mattentui iko matti’ nareweki ja’na apa’ riturungenngi ritu gau’ madecennge riati maja’e nade’sa nariturungeng ati madecennge ri gau’ maja’e. Naiya tau maja’ kaleng atie lettu’ rimonri ja’na. (Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)


Kutipan Lontara’ di atas menitikberatkan pentingnya seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.


Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara’ Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar yang sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya:


Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu’i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa’na, moloi ada napadapi. (Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)


Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.


Materi Pao-Pao Toriolota Aja’ muangoai onrong, aja’ to muacinnai tanre tudangeng, de’tu mullei padecengi tana. Risappa’po muompo, ri jello’po muompo, ri jello’po muakkengau. (Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah kamu mengia.)


Ungkapan lain yang menganjurkan manusia berbuat wajar adalah sebagai berikut.


Duampuangenngi ritu gau sisappa nasilolongeng, gau madecennge enrennge sitinajae. Iapa ritu namadeceng narekko silolongenngi duampuangennge. Naia lolongenna ritu:


a. narekko ripabbiasai aleta mangkau madeceng, mauni engkamuna maperri ri pogaumuiritu.

b. Pakatunai alemu ri sitinajae

c. Saroko mase ri sitinajqe

d. Moloi roppo-roppo narewe

e. Moloi laleng namatike nasanresenngi ri Dewata Seuwaee

f. Akkareso patuju.

(Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:
  • Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.
  • Rendahkanlah dirimu sepantasnya.
  • Ambillah hati orang sepantasnya 
  • Menghadapi semak-semak ia surut langkah
  • Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan.
  • Berusahalah dengan benar.) 
Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu. Dalam Lontarak disebutkan:

Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa’na. (Serakah awalnya, menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.)

Jadi, Lontarak amat menekankan pentingnya manusia berbuat secara wajar, seperti dapat disimak dalam ungkapan:

Aja’ mugaukenngi padammu tau ri gau’ tessitinajae. (Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia)

Selanjutnya, Lontarak memperingatkan bahwa sifat serakah atau tamak, sewenang-wenang, curang, perbuatan tega atau tidak menaruh belas kasihan kepada orang lain dapat menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menimbulkan kerusakan dalam negara.

Keserahan atau ketamakan, menghilangkan rasa malu sehingga mengambil hak-hak orang lain bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang bersifat serakah atau tamak tidak pernah merasa cukup sehingga apa yang dimiliki selalu dianggap kurang. 
Kekerasan akan menyebabkan melenyapkan kasih sayang di dalam negeri. Artinya, rakyat kecil harus mendapat perlindungan demi tegaknya suatu negara, tetapi kalau pihak yang berkuasa berbuat sewenang-wenang (hanya unjuk kekuatan) berarti kasih sayangnya kepada masyarakat akan hilang yang sekaligus memperlemah kedaulatan rakyat. 
Kecurangan akan memutuskan hubungan keluarga. Artinya, orang yang curang tidak pernah merasa puas atas hak-haknya sendiri. Ia selalu berpikir untuk memiliki hak-hak orang lain. Orang seperti itu, akan menemukan kesulitan dalam hidupnya karena tidak ada orang yang akan mempercayainya. 
Keempat, perbuatan tega terhadap sesama manusia, melenyapkan kebenaran di dalam negeri. Artinya, para pejabat negeri dituntut untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Berbuat tidak adil berarti kebenaran dilecehkan dan bila kebenaran dilecehkan berarti kehancuran bagi negeri. Karena itu, agar negara selamat dan berhasil, para pemimpin haruslah berbekal kejujuran disertai dengan kepatutan. 

Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)

Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disetrtai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

Taro-taroi alemu siri, Narekko de’ siri’mu inrekko siri’ (Perlengkapilah dirimu dengan siri’, Kalau tidak ada siri’-mu, pinjamlah siri’.)

Dalam dunia realitas, sering dijumpai seorang manusia Bugis mengorbankan sanak keluarga yang paling dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di Sidenreng Rappang pada abad XVI, La Pagala Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab:

“Ade’e temmake ana’ temmakke eppo” (“Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu.”)

Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah “taro ada taro gau” (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia “munafik” (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

Adat yang telah merupakan jiwa dan semangat manusia Bugis berlaku umum dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Adat atau panngadereng tidak mengenal kedudukan, kelas sosial, derajat kepangkatan, status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam menjatuhkan sanksi atau hukuman adat terhadap manusia-manusia yang telah melakukan pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu, apakah dia seorang raja, putra mahkota, orang kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai hak istimewa dalam kehidupan panngadereng masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite dan masyarakat biasa diperlakukan sama dalam kehidupan masyarakat. Faktor inilah yang telah menempatkan adat pada tempat yang teratas dalam diri manusia Bugis: “Ade’temmakiana’, temmakieppo” (adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu).

Dalam hal motivasi berprestasi, terungkap dalam ungkapan Bugis dengan istilah reso (usaha keras). Untuk mencapai prestasi reso merupakan syarat utama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perjuangan untuk mencapai suatu keberhasilan, seseorang haruslah pantang menyerah; ia harus tampil sebagai pemenang. Ungkapan Lontarak berikut mengisyaratkan betapa pentingnya melakukan gerak cepat agar orang lain tidak mendahului kita dalam bertindak:

Aja’ mumaelo’ ribetta makkalla ri cappa alletennge. (Janganlah mau didahului menginjakkan kaki di ujung titian.)

Ungkapan di atas memberi pelajaran bahwa dalam hidup ini terdapat persaingan yang cukup ketat dan untuk memenangkan persaingan itu, semua kemampuan yang ada harus dimanfaatkan. Titian yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja dan siapa yang terdahulu menginjakkan kaki pada titian itu, berarti dialah yang berhak meniti terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bertindak cepat dengan penuh keberanian, walaupun mengandung risiko besar merupakan syarat mutlak untuk menjadi pemenang. Namun demikian, tidak ada keberuntungan besar tanpa perbuatan besar dan tidak ada perbuatan besar tanpa risiko yang besar. Dalam sebuah ungkapan Lontarak ditekankan:

Resopa natinulu, natemmanginngi malomo naletei pammase Dewata Seuwaee. (Hanya dengan kerja keras dan ketekunan, sering menjadi titian rahmat Ilahi.)

Ungkapan itu memberi pelajaran bahwa untuk memperoleh keberhasilan, seseorang tidak hanya berdo’a, tetapi harus bekerja keras dan tekun.

Ambo Enre (1992) mengutip sebuah ungkapan pesan Bugis bagi perantau-perantau sebelum meninggalkan kampung halaman sebagai berikut.

Akkellu peppeko mulao, a’bulu rompeko murewe’. (Bergundul licinlah engkau pergi, berbulu suaklah engkau kembali).

Pesan itu diperuntukkan kepada para perantau agar terdorong bekerja keras di negeri rantauannya. Serta mempunyai tekad yang kuat untuk tidak kembali ke kampung halamannya sebelum berhasil. Dalam kaitannya dengan usaha, waktu atau kesempatan merupakan salah satu faktor penentu dalam meraih kemenangan (Tang, 2007). Hal ini ditegaskan dalam ungkapan Bugis disebutkan:

Onroko mammatu-matu napole marakkae naia makkalu. (Tinggallah engkau bermalas-malas hingga kelak datang yang gesit lalu menguasai)

Selain pentingnya menghargai waktu/kesempatan, pentingnya seseorang menghindari perbuatan memetik keuntungan dari hasil jerih payah orang lain, tergambar dalam ungkapan berikut.

Temmasiri kajompie, tania ttaro rampingeng, naia makkalu. (Tak malu nian si Buncis, bukan ia menyimpan penyanggah, ia yang memanjat)

Ungkapan itu menganjurkan bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, seseorang dituntut bekerja keras, tidak menyandarkan harapannya kepada orang lain.

Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:

Iya padecengi assiajingeng:
Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie; 
Sipakario-rio; 
Tessicirinnaiannge ri sitinajae; 
Sipakainge’ ri gau’ patujue; 
Siaddappengeng pulanae

(Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:
Sependeritaan dan kasih-mengasihi; 
Gembira menggembirakan; 
Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar; 
Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar; 
Selalu memaafkan.) 

Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut:

Eppai rupanna padecengi asseajingeng:
Sialurusennge’ siamaseng masseajing. 
Siadampengeng pulanae masseajing. 
Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae. 
Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng. 

(Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:
Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga. 
Maaf memaafkan sekeluarga. 
Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak. 
Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.) 

Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992)
sebagai berikut.

Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau’i alau’e, ri parimanianngi maniannge, ri pariase’i ri ase’e, ri pariawai ri awae. (Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)

Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana.

Aja’ muangoai onrong, aja’ to muacinnai tanre tudangeng, de’tu mullei padecengi tana. Risappa’po muompo, ri jello’po muompo, ri jello’po muakkengau. (Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah kamu mengia.)

Mengenai Pendidikan Kemasyarakatan:

Mau melle mabela ‘e artinya: Biar bagaimana kebaikan orang yang jauh 
Mau teppekua mabbali bola ‘e artinya: Bagaimanapun tak akan sama kebaikan hati orang bertetangga 

Mabonngona ritu jemma te’a ‘e matturungeng ri attanna bojo artiny Menganggap bodoh  masyarakat tidak mau mendatangi di sebelah selatan bojo 

Ajak naitai bati pettu’e pattolana natattr’e-ter‘e artinya: Jangan terjadi putus hubungan bercerai-berai.



Senarai Rujukan:

Article Posts by : Admin (2011). Sipakatu, Sipakalebbi dan Sipakainge. Bunga Wellu. Sumber : http://maccanamalempu.blogspot.com. diakses 11/18/2011.

Abu Hamid,. 2003. "Siri' Butuh Revitalisasi'. Dalam Mustafa. dkk.,.(Eu.) Sini dan Passe: Harga Diri Orang Bugis. Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar: Pustaka Refleks.

Amat Juhari Moain, 1989. Sistem panggilan dalam bahasa melayu. Suatu analisis sosiolinguistik. Kuala lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Fernandes, Inyo Yos. 1996. Relasi historis kekerabatan bahasa Flores. Jakarta: Nusa Indah. 

Hudson. R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: University of Cambridge.

Hymes, Dell. 1976. Foundations in Sociolinguistics. “An Ethnougraphic Approach”. Philadelphia: University of Pensylvania Press.

Manyambeang, Kadir. 1996. "Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri Gowa: Suatu Analisis Linguistik Filologis". Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Mashadi. 2009., Kearifan Lokal Dalam Sastra Bugis Klasik. Jurnal bahasa (bahasa daerah). Jakarta; Pusat Bahasa Indonesia. Diakses pada 9/4/2010.

Masnur Muslich, 2006. Kesantunan berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik. dalam http://re-searchengines.com/1006 masnur2.html. diakses pada 1/25/2011. 

Mattulada. 1991a. "Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di Sulawesi. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV Januari-April 1991.

Mattulada 1991b. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: 

Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Museum Nasional. 1976."Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di Indonesia". Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan Depdikbud No. 10/MP/NAS/76.

Rusdi Room. (2011). Penggunaan Honorifik Bahasa Bugis-Makassar dalam Kalangan Pelajar. Konsep Thesis Progam P.hD. Universiti Utara Malaysia.

No comments:

Post a Comment